. Nadir.
"Kata Ibu, nanti kita tinggal disini dulu aja berdua."
"Nanti kalo kita nikah, aku mau ajuin pindah kantor ke cabang Bandung aja biar gak LDR."
Siang itu, aku baru sampai di Jakarta. Sudah lama aku tidak menghirup udara disini. Aku mengambil handphone dari saku celana untuk menghubungi Vita.
"Kamu lagi dimana?" Tanyaku.
"Di kantor dong. Kenapa?" Jawabnya santai.
"Aku depan kantin kantor kamu, nih."
"Hah? Bentar, aku turun" Terdengar dia kaget, lalu mematikan telpon.
Tak menunggu lama, Vita mendatangiku di sebelah kantin kantor. Ia sedikit bersembunyi-sembunyi karena gak enak kalau dilihat teman kantor. Lalu aku memberi 2 brownis dari Kartika Sari. Dulu dia pernah belanja ini untuk oleh-oleh keluarganya saat main ke Bandung. Setelah mengobrol sebentar, kita sepakat akan bertemu di La Boheme Rooftop, sepulang dia bekerja.
Aku dan Vita dulu sempat berpacaran hampir 2 tahun. Namun, semua berakhir saat kesalahanku yang memilih berpisah. Pada saat itu, aku akui musuh terberatku sebenarnya adalah pikiranku sendiri. Aku bertarung menghadapi pemikiran masa depan tentang hidup akan seperti apa, dimana, dan bagaimana. Tanpa memperlibatkan dia didalam sebuah pertanyaan itu. Hingga akhirnya aku babak belur. Aku kalah dan mengambil keputusan bodoh untuk melepas Vita.
Sembari menunggu dia selesai bekerja. Aku menyempatkan untuk membagi waktu dengan dimensi masa lalu. Di Jalan Sudirman, Kota Jakarta ini sudah lama tidak aku kunjungi. Aku masih ingat jelas saat pertemuan pertama dengannya di Agustus 2020. Menjemput dia di kantornya. Ia menggunakan jilbab biru dengan kemeja hitam. Lalu kita memilih untuk makan malam di bubur ayam Cinere. Vita memesan bubur ayam komplit serta beberapa sate sebagai topingnya. Sederhana sekali pertemuan pertama itu. Kita pun berswafoto untuk memamerkan kepada Meli, seorang teman yang memperkenalkan aku dan Vita.
Pukul lima lewat lima menit, Vita pulang kerja dan menghampiriku di kantin kantor.
"Kamu apa kabar?" Tanyanya seakan memeluk lelahku. Ternyata lewat wajahnya yang sederhana, ada senyum yang dengan berani terbit disana. Rasa lelah seketika hilang setelah melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta menggunakan motor.
"2 minggu yang lalu aku baik-baik aja. Sekarang nggak." Jawabku canda, dengan diakhiri senyum. Iya, 2 minggu yang lalu pertama kalinya aku mendengar langsung melalui video call bahwa Vita mengakui sudah dekat dengan seseorang. Saat pertama kali mendengar itu, aku sebenar-benarnya manusia yang hancur. Bagaimana mungkin aku yang dulu melepasnya kali ini benar-benar tidak mau kehilangan dia sepenuhnya? Aku merasa hidup seakan tak bisa berjalan lagi.
Sesampai di cafe, dia mengeluarkan makanan dari tas kecilnya. Ia bercerita makanan ini dia bikin sendiri di rumah untuk bekal dia saat bekerja namun baru sempat dimakan sekarang. Sesekali Vita menghampiri sendok yang diisi makanan tersebut ke mulutku. Aku menikmati makanannya. "Enak gak?" Tanyanya, lalu aku menjawab dengan mengangguk. "Enak, kok."
"Liat deh bule itu." Vita menunjuk seorang bule yang sedang mengambil foto gedung-gedung Jakarta. "Idung aku mancung kayak dia kan?" Dia tersenyum, aku balas dengan tertawa. Vita sering kali memamerkan hidungnya bahwa hidungnya terlahir dengan mancung. Kadang saat lagi video call, dia mengesampingkan mukanya dan bilang, "Hidung aku makin mancung gak? Hahahha" Khas Vita yang tidak pernah berubah hingga sekarang. Aku masih menyukai dia.
Pelayan datang mengantarkan 2 gelas Lychee Iced Tea dan Bolognese Cheese Fries.
Setelah berbasa-basi, akupun bertanya, "Kamu udah sejauh apa dengannya?" Tanyaku. Sunyi menghampiri kita beberapa detik. Dia tersenyum lalu menarik nafas. "Aku udah pacaran, Ky. Beberapa minggu yang lalu."
DUAR! Seperti bom Atom meledak sejauh 47 km yang berhasil menghancurkan kota Hirosima dan menimbulkan 40 ribu korban jiwa. Namun kali ini, yang hancur adalah aku, dihancurkan oleh bom bernama kenyataan. Aku tidak tau harus menjelaskannya seperti apa. Tapi, rasanya sakit sekali dan aku tidak tahu ada dibagian mana lukanya.
"Kita udah lama berpisah. Aku gak bisa selalu nunggu kamu. Itu menyakitkan. Dan aku bisa ngelupain kamu, karena udah ada dia." Tangannya memegang dengkulku. Terlihat dia menyampaikan itu dengan pelan-pelan. Aku tau, dia juga pasti paham bahwa dia sudah berhasil menghancurkan aku dengan kata-kata itu.
Aku benar-benar membisu, perlahan menjauhkan tubuhku. Pandanganku kosong menatap gedung tinggi dalam lamunan panjang. Vita tidak salah sudah membuka hati untuk orang lain. Kesalahan dari aku yang melepas dia dengan berpikir bahwa keputusanku kemarin adalah yang terbaik. Ternyata keputusan itu adalah awal dari kesalahan terbesar dalam hidupku.
Aku coba memperlihatkan ketegaran di depan Vita. "Maaf, aku gatau kalo semua sudah sejauh ini. Karena terakhir kamu bilang hanya sekedar dekat dengan seseorang, Vit. Makanya aku kesini. Aku hanya ingin berjuang terakhir kalinya untuk membuat kamu kembali." Kataku.
"Iyaa, kamu effort banget hari ini." Dia menatap mataku, " Tapi Ky.. Effort kamu sekarang itu telat banget."
Kali ini aku adalah manusia yang paling merasa gagal. Karena aku tidak pandai menjaga perasaan Vita dan memanusiakannya kala itu. Sangat berbanding terbalik dengan dia yang pandai dalam hal apapun. Itulah mengapa akhirnya Vita memilih pergi.
Aku mencoba untuk menahan kepergiannya. Mungkin masih ada cela untukku kembali. "Vit, aku dateng kesini juga mau bilang kalo aku pengen hidup menua bersamamu. Meski aku tau aku terlambat, tapi sebelum kamu pergi, aku cuma ingin kamu tau itu."
"Ky, aku gak bisa ngelepas orang yang baru ini untuk kamu yang dulu milih pergi." Suara Vita dengan lembut. Lalu kembali melanjutkan, "Karena kepergian kamu kemarin bukan hanya tentang aku. Ayah sama Ibu yang udah percaya sama kamu juga akhirnya kecewa."
Aku mematung untuk sesuatu hal yang mampu memberhentikan sejenak semestaku. Jawaban yang memaksa kita menerima kenyataan selalu menjadi penyebab jantung manusia bisa berdetak lebih kencang. Disaat ini aku tidak melarang pikiranku untuk melamun jauh. Coba aja ada jam yang bisa memutarbalikan waktu, aku perbaikin semua kebodohan-kebodohanku dulu. Sekarang, yang aku rasakan semesta gak adil. Dari sekian banyak cerita, kenapa kita yang harus berakhir.
Selama berpisah dengan Vita, aku membayangkan sebuah realita tunggal dengan adanya dia sebagai pasanganku. Membayangkan masa depan berdua. Memproyeksikan cita-citaku dengan adanya dia di sisi hingga merancang rencanaku dengan adanya dia di dalam rencana tersebut. Tabungan yang aku sisihkan untuk sebuah pernikahan juga sudah aku persiapkan. Yang sebenarnya rancangan ini pernah dibuat juga oleh Vita sendiri.
Aku tau aku terlambat. Dulu, aku benar-benar belum terbuka dalam pemikiran mengenai masa depan. Yang dipikiranku adalah bagaimana tentang hidupku, hidupku, dan hidupku. Hingga aku melupakan seseorang yang mau hidup bersamaku, yang beberapa kali merancang masa depan denganku. Seperti dulu aku dan Vita pernah pergi ke salah satu rumah milik ibunya yang sedang dikontrakkan. "Kata Ibu, nanti kita tinggal disini dulu aja berdua." Atau membahas pekerjaan dia, "Nanti kalo kita nikah, aku mau ajuin pindah kantor ke cabang Bandung aja biar gak LDR."
Masih seperti mimpi buruk bagaimana cerita sehebat dulu, ternyata akan memisahkan dua orang hingga menjadi individu yang tidak saling kenal. Keputusan Vita kali ini semakin memperjelas sudah tidak ada kesempatanku lagi untuk kembali bersama. Dia masih menawarkan untuk tetap terbuka mendengar semua ceritaku. Mungkin maksudnya aku bisa menghubunginya kapan saja. Tapi, aku gak bisa seperti itu lagi. Vita harus tetap menjalani hidup yang sekarang. Walau aku ingin sekali meminjam waktunya lagi, tetapi tak bisa kulakukan. Ia sudah baik-baik saja dan aku tak berhak mengacaukan itu semua.
Yang aku bisa lakukan untuk sementara waktu adalah mengenang momen indah selama bersama. Aku masih ingat tempat aku sering menjemput Vita di halte bus Warung Buncit. Aku masih ingat rasa tomyum masakan Ibunya Vita. Pun aku masih ingat pertama kali ditunjuk menjadi imam solat maghrib untuk ayah dan Ibu. Kata Vita, Ibu ngerasa lucu mendengar ayah saat menjadi imam. Jadi meminta aku sebagai imam. Vita yang kala itu sedang tidak solat, mengabadikan moment itu dalam sebuah foto. Saat itu aku grogi. Kebayang jika aku membaca surat Al-Kafirun saat pembacaan ayat ke 3-5 nya berulang 3 kali.
Aku juga ingat pertama kali Vita ikut aku dalam perjalanan touring bersama teman kampus ke Geopark Ciletuh, Sukabumi. Dalam setiap momen aku selalu memastikan bahwa Vita ikut berperan dalam kegiatan disana. Aku tidak ingin Vita merasa diabaikan karena ikut bersama teman-temanku. Kadang aku memanggil saat dia sibuk memainkan gadget. Atau mengajak dia untuk masuk dalam frame saat akan melakukan foto bersama. Saat malam hari, aku dan Vita pergi mencari martabak sekitaran Geopark Ciletuh. Kondisi jalanan yang dikelilingi hutan sangat gelap membuat Vita ingin membatalkan untuk pergi. Dari kaca spion aku melihat Vita, aku memastikan semua akan baik-baik saja. Untuk menghilangkan rasa takutnya, Vita memelukku erat.
Atau saat perjalanan di sekitar perempatan Cianjur aku melakukan kesalahan dalam berkendara. Syukurnya aku masih bisa mengendalikan motor agar terhindar dari kecelakaan. Kala itu aku benar-benar khawatir akan Vita. Karena aku sempat berjanji dengan orang tua Vita jika aku akan menjaga dia dengan baik selama perjalanan. Aku menghentikan motorku untuk meminta maaf atas kelalaian itu. "Maafin aku yaa tadi aku salah." Kataku, lalu dibalas Vita dengan "Iya, gak apa." Sesampai di Bandung Vita bercerita sambil tertawa ternyata selama perjalanan dia takut dan memejamkan mata sambil berdoa. Mungkin doa yang menyelamatkan kita malam itu.
Ah... Akan lebih panjang jika aku terus menulis semua momen bersama Vita. Pada akhirnya, yang kita pelajari dari hidup adalah bagaimana cara menerima keadaan tanpa menyalahkan, tanpa tapi, dan tanpa mengapa. Hingga akhirnya aku mengerti. Tuhan tidak mau kita hancur berantakan. Makanya kita dipisahkan dipersimpangan jalan.
Di bawah lembayung senja, aku melepasnya.
Aku mengantar Vita ke halte MRT di Fatmawati. Tempat dimana dulu aku dan dia pernah sama-sama berlari karena sudah mendekati keberangkatan travelku. Di tempat travel Fatmawati juga Vita pernah menemaniku sebelum kita berpisah dan melanjutkan LDR. "Makasih, ya untuk hari ini." Bisiknya sebelum aku masuk ke mobil travel. Dari kejauhan ia melambaikan tangan saat mobil travel sudah jalan. Namun kini cerita sudah berbeda. Jalanan Fatmawati kini tinggal menjadi saksi bahwa aku dan Vita pernah mengukir cerita disini. Kita sepakat bahwa apa yang sudah kita lewatkan biarkan menjadi cerita bahwa kita pernah sama-sama bahagia.
Kini, hidupku dan Vita sudah masing-masing. Aku sudah tidak tau keberadaannya. Aku tidak tau kabarnya apa, bagaimana harinya. Begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan namun semua telah berakhir. Beberapa kesibukan sengaja aku lakukan hanya untuk mengisi sebuah kekosongan yang dulu diisi Vita. Seminggu setelah pertemuan, aku mendapat tawaran bekerjasama dengan salah satu produk outdoor untuk beberapa video. Aku pikir Tuhan memintaku melupakan sakit ini dengan melanjut bertualang. Ini juga salah satu doa Vita dulu untukku yang akhirnya terwujud setelah dia pergi.
Kehilangan tergelapku adalah tak lagi melihatmu di muka Jakarta. Hal itu membuat Jakarta selalu terasa salah. Macetnya jalanan Mampang Prapatan sudah tak menarik lagi. Aku tak mau lagi jalan kaki di sekitaran Wahid Hasyim meski sekedar membeli Martabak Orins di Sabang. Menonton festival musik dan beberapa rencana ke Jakarta aku batalkan hanya karena aku belum siap menginjakkan kaki disana untuk sebuah realita bahwa disebelahmu sudah bukan aku. Jakarta yang dulunya berlimpah kegembiraan kini berlimbah air mata. Hanya saat itu kurasa Jakarta kehilangan tumpu dan aku kehilangan tempat tuju. Meski seluruh dunia tahu. Jakarta tanpamu, tak akan pernah sama.
"Kesalahanku melewatkanmu hingga kau kini dengan yang lain, maafkan aku." Bait dari Sheila on 7 selalu terngiang akan apa yang sudah aku lewatkan. Lagu On Bended Knee sudah mewakilkan bahwa aku sudah berlutut tak mau kehilangan. Beberapa part lagu When I was Your Man dapat menyuarakan besarnya penyesalan. Untuk perpisahan yang sebenar-benar ini aku hanya ingin mengutip lagu ciptaan Pongki Barata,
"Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan yang mungkin akan kau lupakan atau untuk dikenang"
"Ma, kemarin aku liat di sosial media Vita sudah lamaran." Kataku saat bercerita ke Mama. Mama sudah mengenal Vita karna aku sering bercerita tentangnya.
"Iya gak apa, setidaknya diakhir kamu udah berusaha ke dia. Kalo sedih sama bahagia gak bisa ngerubah keadaan, kenapa harus milih sedih?" Jawab Mama mencoba menenangkan. Semua kisah harus kembali berpijak pada kenyataan. Kenyataan menyadarkan bahwa aku dan Vita sudah tidak berujung rumah yang sama.
Bulan lalu, seorang sahabat mengirimkan sebuah foto Vita dengan senyum manisnya memamerkan cincin di jari manisnya. Aku tau itu adalah mimpi Vita selama ini. Namun kali ini berhasil diwujudkan oleh lelaki lain yang ada disebelahnya. Cincin yang melingkar tersebut menandakan bahwa semua sudah selesai. Beberapa menit setelah melihat itu, aku langsung memesan tiket pesawat ke sebuah kota yang belum pernah aku datangi. Menurutku tepat untuk aku mencari kedamaian dengan apa yang sudah terjadi. Harapan yang berserakan di langit-langit kamar menjadikanku seseorang yang takut untuk menata ulang apa yang telah hancur dari dalam.
Pernah adalah kata yang tepat untuk aku dan Vita sekarang. Mengetik tulisan ini beberapa kali harus kupaksakan berhenti agar tidak terlalu larut kembali dalam kehampaan. Semakin hari aku sudah berdamai dengan keadaan. Pun aku menulis ini benar-benar sudah penuh dengan kedamaian. Hingga tulisan ini selesai kuketik, tanpa permisi Vita sudah hadir di mimpiku 3 kali. Semoga itu pertanda bahwa dia sudah baik-baik saja disana.
Aku menarik nafas bentar sebelum lanjut nulis. Dah.
Ia sudah berjalan perlahan. Semakin lama semakin jauh. Memaksaku juga untuk membalikkan badan. Menunduk dan mencoba memulai langkah pertamaku tanpanya. Ia takkan pulang. Iya itu jawaban sekaligus keputusan. Ini bukan lagi tentang apa yang ia mau atau yang aku inginkan. Tapi apa yang terbaik untuk jadi pilihan. Perpisahan menjadi jalan keluar. Maka, sudah. Berakhir sudah cerita yang berkaitan dengan aku dan Vita. Semua tokoh yang ada didalamnya akan menjadi semesta baru yang bahkan aku sendiri sudah tidak punya kendali. Mungkin aku akan rindu kabar dan suaranya. Tapi aku yakin semesta pasti selalu punya cara untuk menjaga Vita. Kita gak akan pernah tau akan ketemu lagi atau tidak karena itu semua kendalinya waktu. Diantara bumi yang seluas ini. Aku tetap akan senang pernah menemukanmu. Juga sempat mengira bahwa Vita orang yang tepat. Meski bukan. Mengira saja sudah membuat aku bahagia.
Sampai disini tak perlu lagi didebatkan. Kisah aku dan Vita tamat dan hebat. Dengan atau tidak denganmu, akan ku pastikan namamu tetap menjadi tokoh abadi dalam kisah ini. Kisah kita yang usai, kisah yang paling ku ikhlaskan. Kisah ini berakhir disini selamat melanjutkan perjalananmu. Dan selamat melegenda di hatiku, Vita.
Terima kasih telah menjadi proses pendewasaanku. Sampai jumpa, kalaupun kita tidak akan berjumpa lagi. Selalu berbahagia untuk masing-masing.
Selamat Hari Minggu.
Bandung, 31 Desember 2023.