Sick Feeling

Jam sudah menunjukkan pukul 01.12 pagi. Gue dan Jeki, salah satu teman mendakiku malam ini, sedang duduk di depan tenda. Sedari tadi menikmati kopi susu sambil bercengkrama tentang pekerjaan, persahabatan, hingga percintaan. Kita selalu sama-sama mencari moment seperti ini untuk bercerita. Kabur dari kota, mencari ketenangan dan jawaban dari pertanyaan yang belum ditemukan.
“Bentar, setelah semua ini, lu masih mau berjuang?” Tanya Jeki. Setelah mendengar tentang kisahku dengan seseorang.
“Hah?” aku menghembuskan asap rokok, ”Entahlah, gue seolah ingin berhenti berjuang, tapi gak bisa. Berulang kali nyoba, berulang kali hampir berhasil. Tapi tiap dia datang menyapa, semua usahaku kandas. Gue selalu jatuh di tempat yang pertama. Tetap jatuh cinta dan perjuangin dia.” Jelasku pelan.
Ku lihat Jeki menyeruput kopi. Belum sempat dia menjawab, aku kembali bertanya, “Jadi apa gue masih harus perjuangin dia, Jek?” Aku menatap Jeki.
“Kalo lu yakin, perjuangin. Tapi kalo lu merasa selalu berjuang sendiri, jawabannya ada di lu.” Balas Jeki sambil mengeluarkan matras dari dalam carrier.
Gue diem. Menatap langit malam bersama desiran angin yang masuk dari sela-sela ranting pohon.
“Lu sebenernya udah sadar kalau dia cuma datang pas dia sepi, kan? Lu gak capek?” Tanya Jeki sembari menatapku tajam. 
“Capek?” Dahiku mengkerut.
“Lu gak capek udah kasih yang terbaik yang lu punya lalu ngeliat dia milih orang lain daripada milih lu yang sebenernya selalu siap buat dia?”
Tatapanku pudar, menatap kosong api kompor yang menyala, “Entahlah, Jek. Sepertinya gue masih mau berjuang dulu. Maklum, kan cowo hahhaha.” Jawabku dengan sedikit bercanda untuk mencoba mengalihkan pertanyaan Jeki yang sebenernya aku belum tau jawaban pastinya.

"Keras kepala, dasar. Hahhaha." Selesai menyeruput kopi, Jeki kembali bicara, "Tanyain aja dulu. Kali aja dia nungguin lu juga dan lu gak di bayang-bayangi lagi oleh teka-teki. Setelah itu baru deh lu tau jawabannya."

Dingin malam semakin menembus jaket yang ku pakai. Lalu aku mengepakkan jaket.
“ANJIIIR.” Teriakku.
“Kenapa, Ky?” Jeki kaget.
Ieu, kopi tumpah euyyy.” Ujarku sambil tertawa. Lalu beberes masuk tenda untuk istirahat.
Sebelum tidur, ku teringat pertanyaan Jeki tadi perihal perjuangan. Tatapanku kembali kosong. Bertanya-tanya sendiri tentang jawaban yang belum aku dapati selama ini.


Sebenarnya aku sedang menunggu datang kebahagiaan atau hanya menunda untuk kehilangan?

Tapi aku hanya ingin berjuang. Sampai semua ada kepastian. Entah sampai kapan.
Suara angin di luar tenda membuatku tidur pada malam yang kelam dipenuhi pertanyaan masih mendalam.
Keesokan harinya, aku dan Jeki sudah kembali ke rumah pada sore hari. Karena di Bandung aku sudah tidak memiliki tempat tinggal, aku pun ikut ke rumah Jeki untuk istirahat. Setelah mandi, aku pergi mencari makan. Jam 8 malam lebih, aku melihat hp yang sudah 2 hari sengaja aku airplane. Hal itu kulakukan tidak lebih hanya untuk menghargai waktuku di hutan. Gak ada yang sama sekali menganggu waktuku dari dunia luar sana.
Sambil menghidupkan airplane, aku berandai-andai ada seseorang yang menanyakan keadaanku sekarang. Menanyakan bagaimana hariku di gunung, bercerita harinya tanpa aku, atau setidaknya menyapaku saja sudah cukup bagiku.
Hp mulai berdering. Sejauh ini yang ku lihat hanyalah pesan-pesan yang belum kuharapkan. Notification dari teman-teman yang ngajakin nongkrong, kabar dari grup kerjaan, hingga kakak yang sedang menanyakan keberadaanku.
Masih ku coba berpikir jernih, “Ah, mungkin dia yang sedang menunggu kabarku. Nanti segera kuhubungin dia.”
Kulihat Jeki sudah mulai sibuk mengerjakan deadline kerjaannya. Sambil scroll Instagram tiba-tiba dia muncul di instastory paling kiri, “Wihh. Akhirnya aku bisa melihat keadaanmu.” Ujarku dalam hati. Menggerakkan jempol ke instastory dia.
Aku terdiam setelah itu. Hp segera kulemparkan ke atas kasur. Menatap kosong langit-langit kamar. Masih belum mempercayai apa yang sudah ku lihat. Seseorang yang ku harapkan update instastory yang terdapat dua makanan siap dilahap di atas meja dengan caption, “My saturdate”. Seketika Pikiranku pergi ke Ethiopia, Antartika, dan Lebanon. Entah, pikiranku menembus kemana-mana.
Masih tak percaya. Ku ulangi instastory tersebut untuk meyakini apa yang sudah ku lihat. Ternyata, setelah turun gunung, aku malah menerima hal yang tak ku harapkan. Pada saat itu aku hanya ingin kembali berada di tengah hutan. Diam menyendiri. Berbicara pada malam tanpa jawaban.
“Anjing!” teriakku.
“Kunaon, Ky?” Tanya Jeki.
“Ga apa, Jek.” Jawabku seadanya. Karena aku termasuk tipikal orang yang gak langsung bercerita tentang kekecewaan ke orang-orang. Termasuk tentang kekecewaan cinta yang berulang-ulang. Karena aku yakin jika Jeki mendengarnya, pasti dia akan mencoba meyakini-ku untuk pergi melupakan dan mulai menatap realita.
Sebenarnya dapat ku sadari dari awal. Tak ada alasan yang menjurus pada tanda tanda berjuang bersama sama. Hanya aku yang berjuang selama ini. Salahnya, aku terlalu keras kepala dalam perihal berjuang. Masih berharap semua akan indah pada waktunya. Sampai lupa bahwa semua kisah tidak ada yang sempurna.
Aku meminta ke Jeki yang sedang mendengarkan spotify melalui speaker di kamar, “Jek, request Sick Feeling dong dari Boy Pablo.” 
Tanpa bertanya, Jeki langsung memutarkan lagu tersebut.
Alunan musik mulai terdengar. Kembali seperti biasa, aku menerka-nerka sendiri arti dari sebuah perjuangan. Setelah tersadar kenyataan bahwa dermaga tempat ku singgah, bukan hanya aku sosok istimewa disana. Tercabik sudah aku oleh rasa yang sirna. Mencoba mulai merapikan lagi asa yang hancur berkeping disepertiga perjuangan. Dipaksa menelan kenyataan ketika hati telah ku percayakan. 
Lagu Boy Pablo sudah sampai ke reff.
“What a sick, sick feeling
To let you go, my dear

‘Cause I was not prepared to

Let you go, let you go”


Bandung, 17 Agustus 2019
Ditulis tanpa dapat berkata apa apa.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.