Touch to Rose


Aku dan beberapa teman sedang berkumpul di depan kelas. Kebetulan saat itu guru yang akan mengajar terlambat datang. Selagi berbincang, mataku tertuju pada satu wanita kelas 11 Billingual yang sedang olahraga di lapangan sekolah. Wanita ini terlihat lebih diam, tak seagresif anak-anak yang lain. Matanya berbinar saat ia sedang tersenyum. Terlihat lucu saat sesekali dia tertawa kecil melihat tingkah laku teman lainnya. Dia mengambil posisi di tengah lapangan untuk menunggu bola basket datang.

Sambil menyeruput es nutrisari yang sempat ku bawa dari kantin, aku bertanya kepada salah satu temanku.

“Yu, itu siapa?” tanyaku sembari menunjuk kearah wanita yang ku maksud.
Pandangan Bayu menuju ke arah yang ku maksud, “Oh, itu Dira Pradini. Kenapa?”
“Gak apa. Masih sendiri?” Aku menggali pertanyaan itu karena kebetulan pacar Bayu ada di kelas 11 Billingual juga.
“Udah lama dia putus sama si Hendra. Sekarang kayaknya dia gak sama siapa siapa. Soalnya dia susah dideketin hahhaa.” Jawab Bayu sambil tertawa, dilanjutkan aku yang mengikuti candaannya.

Wajar saja, setelah ku perhatikan. Dira adalah tipikal orang yang tertutup. Mungkin itu maksud Bayu tadi, Dira susah di deketin untuk orang baru.

“Ada nomor hp nya gak? Gue mau nyoba kenalan.”
Bayu diam diam mengeluarkan HP dari saku celana, “Nih nomornya. Hati-hati dicuekin.” Ledeknya sambil tertawa.
Aku memukul pundak Bayu. “Ini baru temen gue. Hahha”

Pada masa itu, belum ada aplikasi Line maupun Whatsapp seperti sekarang. Instagram saja masih sedikit yang menggunakannya. Nyali untuk berkenalan secara langsung pun masih kecil kala itu. Salah satu cara tepat untuk berkenalan masih bermodalkan SMS.

Baru besok malamnya aku berani untuk mencoba memulai menyapa dengan singkat, “Ini Dira, ya?”

Setelah mengirimkan pesan, aku melanjutkan menonton pertandingan final sepakbola antara Indonesia vs Malaysia. Layar handphone sengaja aku letakkan terbalik. Maklum, perasaan dalam menunggu balasan dari seseorang itu bisa campur aduk. Dan itu salah satu ekspresiku dalam menunggu balasan itu. Beberapa kali aku melihat layar masih belum ada pesan masuk. 20 menit belum ada balasan. Aku hampir mau menjual handphone. Akhirnya, tak lama kemudian ada pesan masuk dari Dira.

“Iya, ini siapa?” Balasnya, singkat.
Aku mulai memperkenalkan diri, “Aku Rizky Arie, anak kelas IPS. Hehhe” Jawabku dengan diakhiri ketawa kecil. Biar terkesan gak datar banget.
“Oh, Rizky Arie Prima. Ada apa?”

Dia tau nama lengkapku. Sambil membalas pesan, bahagiaku bak menembus cakrawala. Lalu aku memperkenalkan diri kembali dan mulai membuka obrolan. Malam itu, Dira bilang sedang menonton film “Drag Me to Hell”. Aku pernah menonton film itu. Film tentang seorang nenek tua yang mengutuk seorang wanita. Salah satu cara agar obrolan terus berlanjut adalah menyamakan topik pembicaraan. Sambil membalas, aku pun memutar film Drag Me To Hell di laptop untuk membahas film itu bersama Dira. Dira ternyata tidak seperti yang ku kira sebelumnya. Dia orangnya asik. Gak sependiam yang aku liat ketika di sekolah.

Setelah perkenalan itu, aku dan Dira sering bercerita tentang kegiatan di sekolah sehari-hari. Aku sering sengaja berlama-lama di kantin hanya untuk sekedar melihat Dira dari kejauhan. Kita saling sembunyi-sembunyi melemparkan senyuman ketika saling melihat. Namun, aku dan Dira sama-sama belum saling menyapa saat bertemu.

Bayu memanggilku dengan memukul kecil meja kantin, “Eh, itu Dira.”
“Udah, biarin aja.” Jawabku agar semua terlihat biasa saja. Aku sengaja tak menceritakan ke Bayu ataupun ke teman lain. Pikirku, diam lebih baik agar Dira tak merasa terganggu atas pendekatanku padanya.

3 minggu lebih setelah perkenalan. Aku berpikir ingin menyatakan cinta ke Dira. Terlalu cepat, iya. Jikalau terlambat, akan menjadi penyesalan untukku, pikirku begitu. Tapi aku tak hanya ingin menyatakan seperti biasa. Untuk meyatakan hal itu ku rasa ada perjuangan lain yang harus dilakukan, bukan hanya perihal menyatakan cinta seperti sebelum-sebelumnya.

Setelah berpikir panjang, salah satu menyatakan cinta pada masa itu adalah dengan memberikan bunga waktu nyatakan cinta. Pada masa SMA aku pernah mengikuti komunitas sulap di kotaku. Namanya Zen Magic Community. Ada salah satu trik sulap yang sudah aku pelajari dan bisa aku terapkan untuk menyatakan cinta ke Dira. Di dalam dunia sulap ada namanya trik Touch to Rose. Dimana pesulap diawalnya hanya memperlihatkan sebuah obor api yang menyala. Bila obor ini disentuh dengan tangan akan berubah menjadi setangkai bunga mawar. Pikirku itu salah satu cara selain perihal menyatakan.



Hari Jumat, setelah shalat Jum’at. Aku sudah mempersiapkan semuanya termasuk mental dalam menyatakan perasaan ke Dira. Pukul 2 siang aku dan Dira sudah berada di Waroeng Steak. Tipikal Dira yang pendiam membuatku terus menerus mencari obrolan agar tidak membuat suasana menjadi sunyi.

Aku bercerita tentang hari kemarin dimana aku di cari oleh Pak Mursal, guru ter-killer di sekolah. Pada saat jam istirahat aku menuju parkiran motor untuk mengambil HP dari jok motor. Ketika ku ambil, tiba-tiba Pak Mursal muncul dari aula mencoba menghampiriku. Mataku cepat melihat keberadaannya. Aku berbalik arah dan berlari sekencang mungkin, melewati ramainya siswa-siswi yang mau ke kantin.

"Hahahha, aku dengar Pak Mursal manggil namamu lewat mic sekolah, loh. Kenceng banget, kayak marah gitu."
"Iyaa, dia ngejar aku ke kelas. Tapi aku kabur manjat pager belakang kelas buat menuju ke kantin."
"Terus gimana akhirnya?"
"Aku akhirnya serahin diri. Bilang ke Pak Mursal tadi aku ambil dompet dari jok motor yang isinya pisau kecil sama aku pake gelang. Pisau kecil sama gelangnya aku pinjem dari ibu kantin buat kasih bukti ke dia. Hahahha" Kataku. Ku lihat Dira antusias mendengar yang ku ceritakan.

Aku banyak bercerita dengannya. Dan sesekali bertanya tentang hari harinya. Setelah ada waktu yang tepat, aku langsung ke topik pembicaraan. Mempersiapkan alat sulap dari tas yang ku simpan di bawah meja.

“Ra, coba liat deh ini apa?” Tanyaku, lalu menghidupkan obornya.
Dira terlihat bingung, “Itu api?”

Tiba tiba obor itu aku ubah menjadi setangkai bunga mawar. Dapat kulihat Dira tersenyum sipu. Aku menarik nafas paling dalam sedalam sumur 100 meter. Lalu mulai mengungkapkan kata yang sudah rangkai ketika pertama ku lihat Dira.

Dira hanya bisa diam beberapa detik. Sambil dia memikir jawaban, diam diam aku menukar bunga sulap tadi dengan bunga mawar yang sudah ku persiapkan juga di tas. Setelah ditukar, lalu aku berikan ke Dira. “Ini buat kamu.”
Dira menerima bunganya, “Harus di jawab sekarang?”
“Iyaa kalo bisa. hehe”
“Kalau jawab selesai ujian gimana?” Tanya lagi oleh Dira. Waktu itu ujian semester sekitar 2 minggu lagi. Berarti selama itu aku bakal menunggu jawaban Dira.
“Ngga sekalian kita tunggu kakak kelas kelar Ujian Nasional aja, 6 bulan lagi?” Jawabku bercanda dengan dilanjutkan Dira yang tertawa.
Yang ku tau, salah satu cara untuk membuat orang jatuh cinta adalah dengan membuat dia tertawa. Tapi setiap kali Dira tertawa, aku yang dibuatnya semakin jatuh cinta.

Lalu aku bergumam dalam hati, “Plis, Dira jangan tertawa. Itu sangat indah.” 

Sepulang dari pertemuan tersebut, aku iseng membuka linimasa. Di twitter terlihat Dira muncul dengan tweet, "makasih, bunganya harum. hsha :D"

Sampe typo gitu ketawanya.

Beberapa hari setelah aku menyatakan cinta. Aku mencoba menghubungi Dira. Setelah sebelumnya aku benar-benar memberikan waktu Dira untuk memikirkan jawaban. Di awal sms, masih seperti biasa membicarakan tentang sekolah. Lalu Dira pun bertanya,

“Kalo aku jawabnya sekarang boleh, Ky?” Tanya Dira.
Aku kaget. Karena ini lebih cepat dibanding waktu yang sudah direncanakan Dira.
“Boleh kok. Kalo aku denger jawabannya lewat telpon boleh?” Balasku.
“Telpon aja.”

Jantung berdebar kencang. Pikirku sudah kemana-mana. Tetap berharap agar jawaban sesuai harapan.

“Halo, Ra” Tanyaku.
Tuut… ternyata telpon belum tersambung. Aku terlalu bersemangat.
“Halo.” Terdengar suara Dira.
“Halo. Gimana Ra, jawabannya?"
“Iya, aku mau.”

Mendengar jawaban Dira membuatku bahagia tak terkendali. Mukaku semringah. Setelah jawaban itu aku resmi menjalin kasih bersama Dira. Siap membuat cerita demi cinta. Hari demi hari pun mampu kita lewati. Dira yang memiliki tipikal pendiam harus ku terima dengan aku yang selalu mencari cerita. Setidaknya membuat dia tertawa adalah tugasku. Dan menurutku cinta emang butuh perjuangan.

Beberapa hari kemudian, ketika di kantin aku baru cerita ke Bayu.
"Anjiir, gila juga lu. Hahha" Kata Bayu setelah ku ceritakan semua. "Tapi, cara lu nembak gitu bisa lu pake ke yang lain juga. Udah pasti di terima."
"Kagak lah." Jawabku tegas.
"Kenapa?"
"Yang kayak gini cuma buat Dira. Beda wanita, beda juga perjuangannya."
Bayu manut aja mendengarku.

Perjuangan pada Dira ini tidak akan ku lakukan ke yang lain. Karena menurutku beda wanita, beda pula perjuangannya. Sekaligus meyakinkan ke seseorang, bahwa dia pernah menjadi istimewa dan layak diperjuangkan pada masa itu.
-ooo-

Demikian kisah cintaku dengan Dira ketika masa sekolah, 8 tahun yang lalu. Walau aku masih merasa kisah itu masih teramat baru. Sebetulnya aku masih ingin sekali bercerita tentang dia. Menuliskan kisahnya adalah caraku untuk menyempatkan diri dalam membagi dimensi waktu tentang masa lalu. Mengenang dirinya, selalu merasakan kenangan yang begitu manis. Dira adalah sosok yang benar-benar mampu menerimaku apa adanya. Nakalnya masa sekolahku mampu ia terima. Dira mampu menutupi setiap kekuranganku. Aku pun begitu. Sosok Dira membuatku tetap menjadi diriku sendiri. Tak ada tuntutan untuk merubah diriku kecuali ketika aku melakukan kesalahan.

Dan malam ini di tempatku, Jakarta. Di temani lagu Secondhand Serenade kesukaan Dira. Aku berhasil menuliskan tentang kisah dia sesuai janjiku ketika masih pacaran dulu. Perpisahan sudah membatasi diriku untuk tidak masuk lagi ke dunia dia. Walaupun terkadang ketika aku pulang ke kampung halamanku. Aku masih mengelilingi beberapa sudut tempat berisi kenangan yang masih tersisa. Berhenti sejenak, lalu menatap bahwa di sudut itu pernah ada aku dan Dira mengukir cerita. Itu adalah masa lalu yang sangat indah yang kuanggap sebagai hadiah darimu. Hidup begitu misterius, kita tidak akan pernah benar-benar mengerti mengapa kenyataan seindah itu harus berakhir.

7 tahun berlalu tanpa pertemuan setelah aku dan Dira berpisah. Setahun yang lalu akhirnya aku bertemu untuk pertama kali dengan Dira. Bukan pertemuan yang tak terduga. Tapi aku emang sengaja untuk bertemu dengan Dira. Dira masih tetap Dira yang ku kenal. Masih pendiam dan sering menatap kosong jalanan. Penampilannya pun masih tetap sama. Begitu ayu dan sederhana. Beberapa kali aku berhasil membuat dia tertawa. Tawa yang masih tetap sama saat pertama kali aku dibuat jatuh cinta. Sudahlah. Nanti ku ceritakan lagi tentang pertemuan itu. Pertemuan yang akhirnya membuatku sadar, bahwa aku dan Dira sudah tidak bisa lagi menjadi Kita.

Bersama malam, waktu telah membawa kita pergi. Tulisan ini selesai, tapi tidak dengan rindu ini.

Jakarta, 28 September 2019
Ditulis saat rindu merajalela.

1 komentar:

  1. Bagian ke 2 :
    Kini dirimu hanyalah cerita, yang hanya dapat dikenang. Aku tak tahu apakah semesta akan menyatukan kisah yang telah lalu ataukah harus berakhir dengan pilu.

    Dear dira, kamu adalah kamu bukan aku. Semoga kau tak melupakan kisah kita, penuh canda, tawa dan duka bersama. Semoga kau bahagia disana.

    Aku disini berusaha melupakanmu dan ternyata aku cukup bodoh, karena tak bisa melupakanmu.Maka aku berhenti untuk melupakan kisah kita dan menaruhnya pada relung hati yang terdalam untuk mengingat saat kita pernah bahagia bersama.

    Terbanglah..
    Pergilah..

    Terimakasih telah sejenak singgah, dari aku yang pernah menulis cerita bersamamu

    End

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.