Kita Tak Pernah Menjadi Kita

Baru sempat ku sampai di dermagamu. Tiba tiba kau memaksaku untuk pergi membawa koper yg sempat ku titipkan di dalamnya. Berisi mimpi mimpi kita di masa depan yang pernah kita bincangkan, yang ku simpan dengan baik untuk nanti ku wujudkan. Namun kandas di sepertiga perjuanganku.

Sekoci yang tersedia di pelupuk mata membawaku menjauh dari pelabuhan. Terseok-seok aku dalam kepergian. Teramat luka yang sudah kau tancapkan. Tersiksa realita yang tak pernah ku bayangkan. Dipaksa pergi ketika hati telah ku percayakan.

Aku kembali berjalan menepi daratan. Menyiksa diri dengan tembakau yang siap ku hisap. Persetan dengan penyakitku. Hembusan demi hembusan kuratapi tentang indah kita hari demi hari. Hari sebelum adanya hari ini.

Tersadar kenyataan bahwa dermaga tempat ku singgah, ternyata bukan hanya aku sosok istimewa disana. Tercabik sudah aku oleh rasa yang sirna. Ku coba merapikan lagi asa yang hancur berkeping keping di perjalanan. Mengobati hati yang tertusuk beling karena kehilangan.

Aku pernah bertahan sekuat kuatnya melawan kecewa. Menutup indera pendengeran dari bisikan agar aku menyerah. Dan aku juga pernah memperjuangkanmu sepenuhnya. Sampai pada satu titik aku menyadari. Selama ini aku yang hanya berjuang sendiri.

Hari hari patah, hari hari penuh kecewa, hari hari kalah telah ku temui. Kepedihan ini menutup rongga rindu yang pernah masuk di antara kita. Tawa ini tak mampu lagi menutupi luka yang lebih dalam dari samudera antartika.

Setelah sempat terdiam dalam keheningan yang ku lalui. Pada akhirnya ku menyadari.

Kita hanya sekedar kata pernah. Kita tak pernah menjadi kita.

Sulit aku berlabuh pada dermaga baru. Karena masih terbesit bayangmu secara utuh. Namun bila aku berhasil berlalu. Kau harus percaya. Aku telah melewati puluhan malam untuk berharap kau dapat kembali. Dan aku telah melewati fase tersulit itu. Hal yang selalu ku benci dalam hidupku sebelumnya; merelakanmu.

Sekarang. Kita telah menjalani lagi hari hari tanpa kebersamaan kita. Kelak kan ada nahkoda untukmu yang dia tidak akan berjuang sendiri. Meski nanti, masih ku tak rela itu terjadi. Bila kelak kau terluka atas semua pilihanmu. Tolong, jangan mengatasnamakan karma dari luka yang kau terima. Kau hanya terlambat menyadari bahwa dulu pernah ada seseorang yang begitu kau lukai; aku.

Hari ini ku lepaskan segala gundah gulana.
Ku pasrahkan pula rasaku pada semesta.
Ku haturkan penyesalan atas perpisahan.
Semua ini tak terjadi bila aku tak dipaksa pergi.

Teruntuk kepergianmu.
Adalah keikhlasan yang kulakukan untuk kesekian kali.
Perihal mencintaimu.
Adalah kesalahan terbesar yang tak pernah ku sesali.

Mari kita berjabat tangan untuk kisah yang telah kita lewati. Dan biarkan aku bersulang sendiri untuk menghadapi pahitnya kenyataan ini.

Ku akhiri tulisan ini bersamaan dengan gelas ketiga yang telah bersih. Kepergianmu yang tanpa permisi harus kurelakan dengan dalil cinta tanpa pamrih. November yang kau janjikan pun telah tiada. Bersamaan dengan punggungmu yang melaju ke lain arah.

Atas engkau yang telah menghadiahkan luka, terima kasih. Bersama malam ku ikhlaskan kau untuk terakhir kali.

Jakarta, 1 Desember 2019.
Tulisan ini di buat dari setahun yang lalu. Ku revisi ratusan kali, karena masih belum percaya bila perpisahan ini bisa menjadi nyata. Akhirnya ku selesaikan di November akhir, setelah semua penantian berakhir.




1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.