Terjebak Friendzone
Kriing kriiing kriiiiiiiiiiiiiiiiing ...
Gue terbangun dari tidur karena bunyi alarm hp. Gue ambil hp yang berada di samping tempat tidur. Mata gue langsung terbuka lebar dengan diiringi teriakan kayak banci kejepit “AHHHHHHH !!!!”
Setiap hari gue selalu masuk kuliah jam 7.30, dan kali ini gue bangun jam 7.20. Gue langsung bangun dan ambil handuk lalu menuju kamar mandi. Setelah mandi gue langsung memakai pakaian buat kuliah. Gelora, teman kosan gue juga kesiangan kala itu. Kami akhirnya pergi dari rumah ke kampus jam 7.45 dengan mengendarai motor matic milik gelor.
Gue lihat Gelora dari kaca spion, “Anjiir ... Bisa-bisa gak boleh masuk kita, Lor.”
“Udah tenang aja.” Jawab Gelora dengan santai sambil main hp.
Saat di parkiran, gue liat jam udah menunjukkan pukul 08.00, kami langsung berlari menuju kelas. Dengan nafas ngos-ngosan akhirnya kami sampai di depan pintu kelas. Begitu sampai di depan kelas, gue ngelirik dulu ke dalam ruang kelas untuk memastikan pelajaran udah di mulai apa belum.
“Eh, gak ada dosen, Lor.” kata gue.
“Iya nih.” jawab Gelora sambil menggelengkan kepalanya.
Gue langsung masuk ke dalam kelas dan menaruh tas di tempat duduk bagian depan tepat sebelah kursi ketua kelas gue, namanya Fauzi. Gue emang selalu ngambil tempat duduk di bagian depan. Pura-puranya gue pinter.
“Eh, dosen mana nih?” tanya gue ke Fauzi.
“Ini dosen baru aja sms gue.” jawab Fauzi.
Fauzi lalu berdiri ke depan kelas, “Tenang dulu, ini ada balesan dari dosen,” Tiba-tiba seisi kelas sunyi. Hanya Fauzi yang bersuara kala itu, “Katanya, perkuliahan hari ini di tiadakan karena dia lagi berangkat ke Medan.”
Isi kelas mulai kembali ribut. Ada yang teriak YEEEEE karena merasa bebas gak ada kelas. Ada juga yang teriak YAAAAHHH karena merasa sia-sia bangun pagi. Gue termasuk salah satu yang teriak YAAH. Gak lama kemudian anak-anak pada cabut dari kelas menuju kantin.
Waktu di kantin, gue cuma pesan minuman es cappucino cincau. Di kantin kampus jurusan gue, gue paling jarang pesan makanan. Masalahnya porsi makanannya dikit, terus mahal. Takutnya kalo gue sering makan disini, jatah makan gue gak sampe akhir bulan.
Setelah 2 jam nongkrong-nongkrong di kantin. Gue di ajak jalan oleh Zen, Hakim, dan salah satu temen gue cewek di kampus, namanya Dhey. Gue gak nolak, karena gue ngerasa bosan kalo hidup cuma di kosan mulu. Dhey sama Zen ngajakin buat nongkrong di Chatime, jalan Dago. Kami pergi menuju Chatime.
Disana kami nongkrong-nongkrong ala mahasiswa yang cuma pesen minum tapi nongkrongnya lama pake banget, lama bangeeet. Tapi emang sih, di Chatime nyediain tempat buat nongkrong lama, menu yang tersedia juga hanya minuman aja.
Awal-awal nongkrong kami hanya canda-candaan biasa. Gak lupa juga check-in di path, pura-pura-nya kami gaul. Hingga pada akhirnya ada juga obrolan yang berujung dengan serius.
“Dhey, ini si Hakim mau cerita.” kata Zen sambil mendorong pundak Hakim.
Dhey disini adalah cewek sendirian diantara kami. Jadi, kami pengen cerita-cerita tentang cewek ke dia. Kami tau, dia pasti tau semua tentang cewek karena dia selama ini hidup sebagai cewek. Dia pasti bisa ngejelelasin sifat-sifat cewek.
“Kenapa, Kim? Sok cerita sini” Ujar Dhey sambil ngeledek Hakim.
“Gini, udah hampir 2 tahun lebih gue deket dengan cewek. Namanya, Miranda,” Hakim memberikan hp-nya ke kami buat nunjukin foto cewek tersebut, “Dia pernah masuk 5 besar Miss Gorontalo” tambah Hakim.
“Terus masalahnya apa?” Tanya Dhey.
Gue dan Zen hanya menyimak.
“Jadi, selama hampir 2 tahun ini gue deket dengan Miranda, selama itu juga dia udah punya pacar.”
“Hahh.” Kami semua kaget.
Hakim kembali melanjutkan, “Gue selalu deket sama dia, pergi bareng dia, makan bareng dia, ketawa bareng, bahkan selama sekolah waktu itu, dia lebih milih boncengan sama gue daripada dengan pacarnya. Dia juga pernah main kerumah, dan keluarga gue mikir kalo Miranda pacar gue.”
Dhey mengangkat tangan ke arah depan, “Wait wait wait, berarti disini posisi lu adalah friendzone.”
Hakim menunjuk ke arah Dhey, “NAAH, bener. Lebih tepatnya seperti itu.”
“Terus pacarnya tau gitu tentang lu?” Lanjut Dhey.
“Iya, dia juga tau kok,” Hakim mengambil segelas cappucino untuk di minum. Setelah meminumnya dia cerita kembali, “Pernah waktu gue jalan sama Miranda, dia ngasih hp nya ke gue. Ternyata pacarnya yang nelpon. Terus pacarnya ngomong, Halo, Kim. Jagain Miranda, ya” Hakim lalu memegang bagian hatinya sambil tertawa kecil.
Wadepak, nyeseek. Deket sama sahabat cewek, terus ngomong langsung dengan pacarnya. Mungkin iya, waktu itu kita bisa ngomong biasa. Tapi, apa mungkin hati berkata ‘iya’ juga?
“Lalu lu pengen diem gini terus, Kim.” Tanya gue.
“Kami pernah ngomongin masalah hubungan ini. Dia juga pernah ngomong kalo dia pengen kami biasa aja atau bahkan berpisah.” Hakim nunjukkin bbm-an dari Miranda yang udah di capture-nya.
Dhey menarik nafas, “Hmm.. kalo menurut gue, lu harus ambil ketegasan. Lu harus tinggalin dia. Kalo lu gak pergi, lu bakal gini terus. Dia juga pernah ngomong kan kalo pengen biasa aja.”
“Ngomong emang mudah sih, tapi ninggalinnya itu yang sulit.” Hakim tertawa kecil.
“Itu sih terserah lu mau gimana. Kalo menurut gue sebagai cewek, cewek itu juga butuh ketegasan. Dia ngomong pengen berpisah, tapi dia balik lagi. Itu artinya dia pengen cowok yang mulai duluan. Maksudnya, mulai duluan buat meninggalkan.”
“Iyaaaaaa. Tapi sulit banget ninggalin orang yang udah lama deket sama kita.” Hakim meyakini kalo hal yang kami sarani itu sulit di lakukan.
Gue angkat bicara, “Kim, gue juga pernah di posisi lu. Gue pernah deket dengan sahabat cewek selama 3 tahun lebih. Kami cerita bareng, ketawa bareng, bahkan dia pernah cerita sambil nangis ke gue. Selama itu juga kami sama-sama memendam perasaan.”
“Jadi lu tau kan posisi gue, Ky.”
Gue mengangguk, “Iyap gue tau. Tapi pada akhirnya kami berani buat saling meninggalkan.”
“Iya, Kim. Lu juga harus berani buat ngambil keputusan.” Tegas Dhey.
Hakim mengangguk dan kemudian kami mengganti topik pembicaraan.
Mendengar cerita dari Hakim, gue sempet flashback ke masa lalu. Gue terjebak dengan friendzone. Tapi bedanya, waktu itu gue ungkapin perasaan gue ke dia, namanya Reni. Hingga akhirnya kami pacaran. Mungkin harapan kami waktu itu kami bakal memiliki hubungan yang lebih baik. Tapi disini lah sebenarnya awal persahabatan kami berakhir. Kami sama-sama gak ngerasain kenyamanan yang pernah kami rasakan selama bersahabat. Gak butuh lama buat kami menyadari ke-tidak nyamanan itu. Dengan mengorbankan persahabatan kami selama lebih 3 tahun, akhirnya kami hanya di bayar dengan pacaran selama 7 hari!
Gue sempet nyesel pernah ngungkapin perasaan itu. Karena setelah kejadian itu, gak ada lagi cerita-cerita di antara kami seperti sebelumnya. Kami udah canggung buat cerita-cerita. Seiring waktu berjalan, kami juga sama-sama berjalan untuk saling meninggalkan. Gue juga sadar, sesungguhnya pacaran dengan sahabat itu bukan satu-satunya jalan terbaik. Terkadang itu malah menjadi boomerang hubungan dari persahabatan.
Hingga sekarang gue tetep gak ngerasain lagi persahabatan kami dulu. Dia udah gak pernah cerita tentang kehidupan dia, sebaliknya juga dengan gue. Paling kalo kami lagi ada waktu buat cerita-cerita, kami hanya cerita sebagian kecil tentang kehidupan kami. Yang pasti, gak kayak dulu. Sekarang gue udah gak nyesel pernah ngungkapin perasaan itu. Dengan saling tau tentang perasaan kami itu udah cukup bagi gue. Walaupun rasa itu kini telah hilang.
Gue mau tutup cerita ini dengan kata-kata yang pernah gue baca dan gue kutip secara diam-diam dari blog Reni sekitar beberapa tahun lalu..
“Meskipun sosok itu telah hilang. But, you are the only best friend that I ever had”
Terjebak Friendzone
Reviewed by Rizky Arie Prima
on
September 14, 2014
Rating: 5