Ruang Hampa
Angin rindu terus berhembus menandakan harapan untuk beranjak dari sini kian pupus
Kegelapan sepi seakan menutup langkah pujangga
Dan disini aku berada pada rumah yang dulu sempat ku singgahi
Rumah yang seolah mempersilahkan aku untuk kembali masuk
Aku mencoba melangkah memasuki rumah lama
Kini beberapa sudut telah retak dan diselimuti oleh sarang laba-laba
Satu per satu kisah yang pernah ada kembali menyapa
Membuat aku tersenyum sipu untuk memulai mengenangnya
Aku melangkah menuju ruang tengah. Tak ada lagi kursi kayu yang dulu menjadi tempat aku merasa tenang ketika aku ingin bercerita. Mungkin kursi kayu itu malu untuk beradu kisah denganku. Ku pikir, ada ruangan lain yang mampu begitu.
Lalu aku berpindah 10 langkah menuju ruang sebelah. Disana hanya ada meja yang dulu menjadi tempat aku berbagi canda tawa. Meja itu kini telah ditutupi debu-debu yang membuat aku canggung untuk kembali tertawa. Ku rasa, selama aku pergi, meja telah memiliki cerita sendiri tanpa aku di dalamnya. Aku harus pergi dari ruangan ini.
Aku melihat pada ruangan belakang, ada lampu yang berkelap-kelip seakan memanggilku untuk datang. Dengan cepat aku langkahkan kaki menuju ruangan tersebut. Ketika aku datang, lampu itu padam. Aku tak melihat apapun. Yang ada hanyalah kegelapan. Aku sebut ruangan ini adalah ruang harapan. Yang hadir memberikan harap, lalu pergi meninggalkan gelap.
Aku masih memaksakan hal-hal indah yang dulu sempat terjadi untuk datang lagi. Entah di ruangan manapun itu. Aku harus menemukannya agar aku merasa kembali nyaman untuk bersatu di rumah ini.
Langkah demi langkah. Aku tetap menelusuri setiap sudut ruangan. Tetap saja belum ada lagi tempat yang seperti dulu. Hingga akhirnya langkahku terhenti dalam sebuah ruangan. Aku menutup mata, menarik nafas dan benar-benar merasakan kenyamanan disini. Ruangan ini masih tertata rapi, bersih, dan suci. Mataku menjelajah ke dinding-dinding ruangan. Masih ada bingkai klise dari cerita lama. Pun, sayup sayup aku mendengar suara Messo Sopran dari ruangan ini, pemilik suara yang dulu menjadi temanku berbicara, temanku bercerita, hingga temanku tertawa. Aku bercerita-cerita pada ruangan ini tentang hal yang selama ini tanpa aku.
Di ruangan ini masih terdapat kisah yang membuat aku benar-benar masuk ke dalamnya. Benar saja, aku sedang terjebak dalam ruang rindu di rumah lama ini. Sehingga aku merasa nyaman berada di dalam rumah lama, lebih tepatnya pada ruangan rindu ini. Ruangan dimana tempat aku bisa merasakan kembali hal lama yang sebenarnya ruangan ini hanyalah ruangan hampa.
Aku harus beranjak dari ruang rindu ini. Karena makin ku sadari, sebenarnya ruangan ini hanyalah kosong. Tak ada apa-apa yang harus ku bawa. Aku meninggalkan rumah lama ini dengan sedikit tergontai-gontai. Memberhentikan pikiranku yang sedari tadi tetap berandai-andai.
Ketika aku sudah berada di luar rumah lama ini. Rumah itu hilang di terpa angin kenyataan, bahwasanya rumah ini bukan lagi tempat untuk ku tinggal.
Aku hanya bisa tertawa kecil menyadari semua ini. Karena ku tahu semua yang terjadi memiliki alasan. Tak lupa, hari ini aku ucapkan terimakasih pada semesta yang telah mempertemukan aku pada rumah lama, meski tanpa membuat kita kembali bersama.
Ternyata benar, rumah yang sempat kita tinggali akan berbeda ketika kita kembali lagi. Tak ada lagi meja, tak ada lagi kursi kayu. Yang tertinggal hanya cerita, yang terindah hanyalah rindu.
Ditulis pada saat di udara menuju ke kota Bandung
Palembang-Bandung, 30 Oktober 2016.
Kini beberapa sudut telah retak dan diselimuti oleh sarang laba-laba
Satu per satu kisah yang pernah ada kembali menyapa
Membuat aku tersenyum sipu untuk memulai mengenangnya
Aku melangkah menuju ruang tengah. Tak ada lagi kursi kayu yang dulu menjadi tempat aku merasa tenang ketika aku ingin bercerita. Mungkin kursi kayu itu malu untuk beradu kisah denganku. Ku pikir, ada ruangan lain yang mampu begitu.
Lalu aku berpindah 10 langkah menuju ruang sebelah. Disana hanya ada meja yang dulu menjadi tempat aku berbagi canda tawa. Meja itu kini telah ditutupi debu-debu yang membuat aku canggung untuk kembali tertawa. Ku rasa, selama aku pergi, meja telah memiliki cerita sendiri tanpa aku di dalamnya. Aku harus pergi dari ruangan ini.
Aku melihat pada ruangan belakang, ada lampu yang berkelap-kelip seakan memanggilku untuk datang. Dengan cepat aku langkahkan kaki menuju ruangan tersebut. Ketika aku datang, lampu itu padam. Aku tak melihat apapun. Yang ada hanyalah kegelapan. Aku sebut ruangan ini adalah ruang harapan. Yang hadir memberikan harap, lalu pergi meninggalkan gelap.
Aku masih memaksakan hal-hal indah yang dulu sempat terjadi untuk datang lagi. Entah di ruangan manapun itu. Aku harus menemukannya agar aku merasa kembali nyaman untuk bersatu di rumah ini.
Langkah demi langkah. Aku tetap menelusuri setiap sudut ruangan. Tetap saja belum ada lagi tempat yang seperti dulu. Hingga akhirnya langkahku terhenti dalam sebuah ruangan. Aku menutup mata, menarik nafas dan benar-benar merasakan kenyamanan disini. Ruangan ini masih tertata rapi, bersih, dan suci. Mataku menjelajah ke dinding-dinding ruangan. Masih ada bingkai klise dari cerita lama. Pun, sayup sayup aku mendengar suara Messo Sopran dari ruangan ini, pemilik suara yang dulu menjadi temanku berbicara, temanku bercerita, hingga temanku tertawa. Aku bercerita-cerita pada ruangan ini tentang hal yang selama ini tanpa aku.
Di ruangan ini masih terdapat kisah yang membuat aku benar-benar masuk ke dalamnya. Benar saja, aku sedang terjebak dalam ruang rindu di rumah lama ini. Sehingga aku merasa nyaman berada di dalam rumah lama, lebih tepatnya pada ruangan rindu ini. Ruangan dimana tempat aku bisa merasakan kembali hal lama yang sebenarnya ruangan ini hanyalah ruangan hampa.
Aku harus beranjak dari ruang rindu ini. Karena makin ku sadari, sebenarnya ruangan ini hanyalah kosong. Tak ada apa-apa yang harus ku bawa. Aku meninggalkan rumah lama ini dengan sedikit tergontai-gontai. Memberhentikan pikiranku yang sedari tadi tetap berandai-andai.
Ketika aku sudah berada di luar rumah lama ini. Rumah itu hilang di terpa angin kenyataan, bahwasanya rumah ini bukan lagi tempat untuk ku tinggal.
Aku hanya bisa tertawa kecil menyadari semua ini. Karena ku tahu semua yang terjadi memiliki alasan. Tak lupa, hari ini aku ucapkan terimakasih pada semesta yang telah mempertemukan aku pada rumah lama, meski tanpa membuat kita kembali bersama.
Ternyata benar, rumah yang sempat kita tinggali akan berbeda ketika kita kembali lagi. Tak ada lagi meja, tak ada lagi kursi kayu. Yang tertinggal hanya cerita, yang terindah hanyalah rindu.
Ditulis pada saat di udara menuju ke kota Bandung
Palembang-Bandung, 30 Oktober 2016.
Ruang Hampa
Reviewed by Rizky Arie Prima
on
November 23, 2016
Rating: 5